Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita
Sunday, January 10, 2021
Edit
Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita - Hallo sahabat Islam Itu Indah, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel cerita,
Artikel penghalang, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita
link : Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita
Sepulang dari sekolah beliau mulai berpikir apa yang dikatakan guru anaknya tadi. Dari diskusi itu beliau menerima pelajaran berharga kalo kita gak bisa mengukur prestasi org lain berdasarkan ukuran kita.
Seorg penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan. Melainkan ikut membantu memperlihatkan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka memperlihatkan grafik-grafik serta tabel dibuatnya serta menandakan sejelas-jelasnya sehingga beliau dan penguji lain makin mengerti.
Bisakah kita mencetak generasi jago dengan cara membuat rasa takut? Apakah itu yang terjadi kini ini, di mana negara kita ialah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tapi masih terseok-seok menuju masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan. Mengapa negara kita tak kunjung maju sementara kekayaan alamnya melimpah??
Anda sekarang membaca artikel Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita dengan alamat link https://lubukhatimuslim.blogspot.com/2021/01/ada-yang-salah-dengan-pendidikan-kita.html
Judul : Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita
link : Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita
Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita
Pendidikan Yang Menghukum
Tulisan ini diilhami dari pengalaman Rhenald Kasali wacana perbandingan pendidikan di negara maju menyerupai Amerika Serikat dengan di negara kita. Saya juga pernah menuliskan topik yang serupa tapi kisah berbeda di hidup bukan melulu soal menang kalah.
Berikut ini kisahnya..
Berikut ini kisahnya..
Beberapa waktu kemudian waktu masih tinggal di AS Rhenald mengajukan protes pada guru anaknya. Masalahnya sepele saja, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anaknya yang boleh dibilang seadanya itu telah diberi nilai E [Excellence] yang artinya sempurna, hebat, anggun sekali. Padahal, si anak ini gres saja tiba di Amerika dan gres mulai berguru bahasa. Wajarsaja jikalau karangannya ala kadarnya dan minim kata.
Karangan yang beliau tulis sehari sebelumnya itu ditunjukkan pada ayahnya dan sebagai seorang penulis yang mempunyai jam terbang banyak mulailah beliau mencemaskan kemampuan verbal anaknya yang sangat terbatas. Menurut ayahnya, goresan pena itu sangat buruk. Logikanya sangat sederhana, layaknya logika anak seusianya. Rhenald meminta sang anak untuk memperbaiki kembali karangan itu hingga balasannya beliau menyerah.
Gak sanggup meneruskannya.
Gak sanggup meneruskannya.
Ternyata karangan itulah yang diaserahkan pada gurunya. Yang membuat surprise karangan yang ala kadarnya itu bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa gak salah memberi nilai? Bukankah guru harus objektif melaksanakan penilaian? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, bawah umur gak bakalan tau mana yang karangan yang benar dan bisa jadi bawah umur gak sadar kesalahannya malah bisa cepat puas diri.
Dan tahukah anda apa reaksi gurunya waktu Rhenald melayangkan protes..?
Dan tahukah anda apa reaksi gurunya waktu Rhenald melayangkan protes..?
Dia malah nanya begini...
“Excuse me sir, could you tell me where you from? (Maaf, Bapak dari mana?)". Dan Rhenald pun tersenyum sambil berkata, “ I am from Indonesia (Saya dari Indonesia,”. Dan tampak senyum lebar di wajahnya...
Dan mulai menjelaskan panjang lebar alasannya memberi nilai E buat karangan yang boleh dibilang sampah.. Dia ingin menjadikannya yang terbaik dengan membaikkan hidupnya..
Dan mulai menjelaskan panjang lebar alasannya memberi nilai E buat karangan yang boleh dibilang sampah.. Dia ingin menjadikannya yang terbaik dengan membaikkan hidupnya..
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup Rhenald Kasali. Itulah ketika yang mengubah caranya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“ I see (Saya mengerti)” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini dan saya mendapatkan satu kesan kalo di negeri anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan utk merangsang anak biar maju. Encouragement!”, Kata gurunya dengan mimik serius.
“Saya sudah mengajar selama 20 tahun. Setiap murid mempunyai huruf yang berbeda. Namun untuk anak seumuran itu, gres tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya sanggup menjamin, ini ialah karya yang hebat,” ungkapnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak Rhenald.
Sepulang dari sekolah beliau mulai berpikir apa yang dikatakan guru anaknya tadi. Dari diskusi itu beliau menerima pelajaran berharga kalo kita gak bisa mengukur prestasi org lain berdasarkan ukuran kita.
Rhenald teringat betapa mudahnya ia menuntaskan studi yang bergelimang nilai “A”, dari jadwal master hingga doktor di luar negeri.
Sementara di Indonesia, beliau harus berjuang menuntaskan studi jungkir balik ditengarai bahaya drop-out dan para penguji yang galaknya minta ampun, setiap ketika siap menerkam.
Sementara, ketika menempuh ujian jadwal doktor di luar negeri, semua dilewatinya dengan mudah. Pertanyaan para dosen penguji memang sangat serius dan membuatnya harus benar-benar menguasai disertasi yang ditulisnya. Namun, suasana ujian dibuat sangat bersahabat.
Seorg penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan. Melainkan ikut membantu memperlihatkan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka memperlihatkan grafik-grafik serta tabel dibuatnya serta menandakan sejelas-jelasnya sehingga beliau dan penguji lain makin mengerti.
Ujian dipenuhi puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan dengan penuh keterbukaan.
Pada ketika kembali ke Indonesia, banyak hal sebaliknya sering beliau saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di kursi ujian, layaknya pesakitan yang menunggu vonis penjara...
Etikanya, seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan. Tapi yang sering terjadi di Indonesia malah sebaliknya, mungkin ada juga penguji yang baik tapi kita bicara soal "pada umumnya" dan pengalaman subjektif yang dialami penulisnya. (Hmmm...Saya ingat saya mengalami sindrom yang sama juga waktu kuliah S1 dulu...merasa gagal dan gak berguna....)
(baca : gak ada insan yang gagal dan tak berguna)
Anyway kita lanjut soal ini...soal saya itu kisah yang berbeda....
(baca : gak ada insan yang gagal dan tak berguna)
Anyway kita lanjut soal ini...soal saya itu kisah yang berbeda....
Rhenald sempat mengalami rasa frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, berdasarkan hematnya sangat gak manusiawi.
Mereka bukannya melaksanakan "encouragement"(menyemangati), melainkan "discouragement"(melemahkan semangat). Hasilnyapun bisa diduga, nilai kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak jago betul. Ukurannya sangat rata-rata dan biasa.
Ternyata belakangan beliau temukan juga penguji cenderung menguji dengan cara menekan. Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan. Dia ingat betul bagaimana guru di AS memajukan anak didiknya. Lantas beliau berpikir, pantaslah murid-murid di sana bisa menjadi penulis karya ilmiah yang hebat, bahkan mendapatkan hadiah Nobel. Bukan alasannya ialah punya guru yang arif secara akademis, melainkan huruf hasil didikan guru-gurunyanya yang sangat kuat: yaitu huruf yang membangun, bukan merusak.
(psst...saya menulis wacana seorang guru yang luar biasa di artikel kemudian di sini)
(psst...saya menulis wacana seorang guru yang luar biasa di artikel kemudian di sini)
Kembali ke pengalaman dengan sang guru Amerika, beliau mengingatkan Rhenald... “Jangan mengukur kualitas bawah umur kita dengan kemampuan orang remaja yang sudah jauh di depan,” ungkapnya dengan penuh kesungguhan.
Rhenald pun teringat rapor bawah umur di AS yg ditulis dalam bentuk verbal.
Misalnya, anak- anak Indonesia yang gres tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tdk diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, menyerupai berikut. “Tina telah memulainya dengan berat dan beliau mencobanya dengan sungguh-sungguh, namun Tina telah memperlihatkan kemajuan yang berarti.”
Sedikit intermezzo, saya pun mengalami hal yang sama waktu tahun 2014 yang kemudian tinggal di Kyoto Jepang dan kedua putri saya sekolah SD Negeri di sana (kelas 2 dan kelas 4 SD). Mereka tak bisa berbahasa Jepang sama sekali dan ketika kenaikan kelas tiba yaitu 3 bulan berikutnya sehabis kami tiba, saya berpikir bahwa mereka gak akan naik kelas...Tapi yang terjadi ialah mereka berdua naik kelas (karena di Jepang tidak ada istilah tinggal kelas) dan mereka berdua hanya dinilai berdasarkan mata pelajaran yang mereka mampu, menyerupai seni, musik, olahraga, matematika, prakarya... Isn't that great??
Lanjut ke dongeng Rhenald..
Sedikit intermezzo, saya pun mengalami hal yang sama waktu tahun 2014 yang kemudian tinggal di Kyoto Jepang dan kedua putri saya sekolah SD Negeri di sana (kelas 2 dan kelas 4 SD). Mereka tak bisa berbahasa Jepang sama sekali dan ketika kenaikan kelas tiba yaitu 3 bulan berikutnya sehabis kami tiba, saya berpikir bahwa mereka gak akan naik kelas...Tapi yang terjadi ialah mereka berdua naik kelas (karena di Jepang tidak ada istilah tinggal kelas) dan mereka berdua hanya dinilai berdasarkan mata pelajaran yang mereka mampu, menyerupai seni, musik, olahraga, matematika, prakarya... Isn't that great??
Lanjut ke dongeng Rhenald..
Malam itu, diapun mendatangi anaknya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Dia ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah dikarenakan telah memberinya evaluasi yang tidak objektif.
Sang anak protes ketika Rhenald tidak mendapatkan nilai E yg berarti excellent (sempurna) untuknya dan menyampaikan bahwa “gurunya salah”. Kini, Rhenald bisa melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Bisakah kita mencetak generasi jago dengan cara membuat rasa takut? Apakah itu yang terjadi kini ini, di mana negara kita ialah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tapi masih terseok-seok menuju masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan. Mengapa negara kita tak kunjung maju sementara kekayaan alamnya melimpah??
Bukan tidak tidak mungkin kita ialah generasi yang dibuat oleh sejuta bahaya : rotan pemukul, dilempar kapur atau penghapus oleh guru, sering disetrap, dan berdiri di depan kelas.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata bahaya : Awas…; Kalau…; Nanti…; dan tentu saja goresan pena berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah membuat kita tidak nyaman meski tujuannya untuk membuat kita lebih disiplin. Namun, juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan gres dalam ilmu otak ternyata memperlihatkan otak insan tidaklah statis, melainkan sanggup mengerucut [mengecil] atau sebaliknya, sanggup tumbuh, tergantung dari atau pertolongan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, kecerdasan insan sanggup tumbuh, tetapi sebaliknya juga sanggup menurun.
Ada orang arif dan ada orang yang kurang arif atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang “tambah pintar” dan ada pula orang yang “tambah bodoh”. Mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan bahaya atau ketakutan. Bantulah anak Indonesia untuk maju.
Tulisan ini bukan untuk menjelekkan pendidikan di negara kita dan memuja muji pendidikan di luar negeri. Wallahi, bukan itu tujuan saya. Tulisan ini hanya sekedar sharing pengalaman untuk membantu mengetahui wacana makna mendidik yang bersama-sama yaitu untuk merangsang anak biar maju, membantu menemukan potensi terbaik mereka dan mengembangkannya, menyebabkan anak berbudi pekerti yang baik. Sehingga balasannya anak menjadi rezeki bagi siapa saja plus soleh / solehah.. bisa terwujud.
Wallahu alam..
Wallahu alam..
Demikianlah Artikel Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita
Sekianlah artikel Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Ada Yang Salah Dengan Pendidikan Kita dengan alamat link https://lubukhatimuslim.blogspot.com/2021/01/ada-yang-salah-dengan-pendidikan-kita.html