Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar
Saturday, December 12, 2020
Edit
Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar - Hallo sahabat Islam Itu Indah, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel cerita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar
link : Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar
Anda sekarang membaca artikel Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar dengan alamat link https://lubukhatimuslim.blogspot.com/2020/12/cara-gampang-sanggup-lailatur-qadar.html
Judul : Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar
link : Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar
Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar
Puasanya Orang Kecil.
Ramadhan telah berlalu...
Halal bi halal pun telah lewat...
Tapi kisah indah ini sayang untuk dilewatkan..
Pagi itu saya lagi ke pasar dan menghampiri seorang wanita renta yang dagang pisang.
"Wah…pisangnya bagus-bagus Mbah…" kataku sembari berjongkok di depan wanita sepuh yang berjualan di pinggir jalan depan pasar itu...
"Lha monggo dipundut (dibeli)..." kata wanita itu riang.
Wajahnya sudah sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya. Tapi suaranya cemengkling (masih nyaring), riang. Giginya terlihat masih utuh.
"Ini kepok kuning… anggun dikolak. Ini kepok putih… jika digoreng sangat manis. Lha jika itu… pisang pista, kulit tipis… harum manis. Tapi jangan dibeli alasannya yaitu belum mateng!" Katanya menjelaskan.
Aku hanya membisu memperhatikan gerak tangannya yang cekatan, meskipun telah ndredheg (gemetar.) "Sudah usang jualan, Mbah…?" Kepo juga aku..
"Belum, ini ngejar rejeki buat lebaran."
Putranya berapa Mbah?"
"Kathah (banyak) ..… pada glidik (kerja)".
"Kok nggak istirahat saja to Mbah… siyam-siyam kok jualan"
"Lha nggih, ini alasannya yaitu siyam niku to, nggak boleh istirahat. Mumpung Gusti Allah paring (beri) sehat…"
Aku tercenung dengan balasan wanita sepuh itu. Kulihat tangannya mengelap kening dan dahinya yang dlèwèran (bercucuran) keringat dengan selendang lusuhnya.
Diantara para penjual ‘liar’ dipinggir jalan depan pasar itu, wanita sepuh ini satu diantaranya yang menggelar dagangan tanpa iyup iyup (peneduh). Padahal hari itu panas luar biasa.
"Kalau pulang jam berapa Mbah?"
"Jam tiga sudah pulang ..…, lha ada kewajiban nyiapkan wedang (minum) buat belum dewasa TPA."
"Kok kewajiban, yang mewajibkan siapa Mbah ?"
"Nggih kula, (ya saya sendiri) …"
"Ooo…begitu…. Setiap hari, selama puasa?"
"Inggih_… _wong cuma anak limapuluhan..."
"Wah panjenengan (anda) hebat nggih Mbah…"
"Halah cuma wedang sama pegangan kecil-kecil. Yang penting bocah-bocah rajin ngaji…, mbah sudah seneng. Jangan udik kaya Mbah ini yang cuma sanggup Fatihah..."
Aku makin tercekat.
Kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
Kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
"Kok banyak banget... mau buat apa, mas?
Tanya si mbah heran.
Tanya si mbah heran.
Aku hanya tersenyum.
"Semua berapa Mbah?"
"Semua berapa Mbah?"
Perempuan sepuh itu menyebutkan nominal yang membuatku tercengang.
"Kok murah banget Mbah!"
"Kok murah banget Mbah!"
"Mboten (ah enggak) itu sudah pas, ini bukan pisang kulakan (dari beli), panen kebun sendiri..."
"Nggih…matur nuwun…" kataku sembari mengulurkan uang.
"Aduh… nggak ada kembalian , belum kepayon (laku)…"
"Saya tukar dulu Mbah…"
Aku sengaja meninggalkan wanita sepuh itu. Pisang telah kuletakkan di mobil.
Mesin kendaraan beroda empat pun kunyalakan. Agak menjauh dari wanita sepuh itu.
Aku sengaja meninggalkan wanita sepuh itu. Pisang telah kuletakkan di mobil.
Mesin kendaraan beroda empat pun kunyalakan. Agak menjauh dari wanita sepuh itu.
Kumasukkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan yang masih baru, ke dalam amplop, Cukup dibagi satu satu untuk anak TPA yang katanya berjumlah limapuluhan tadi. Penutup lem amplop kubuka kemudian kurapatkan.
Ini mbah, sudah saya tukar, sudah pas nggih..."
Perempuan sepuh itu mendapatkan amplop masih dengan tangan dredheg gemetar.
Tanpa menunggu jawaban, saya segera pergi.
Tanpa menunggu jawaban, saya segera pergi.
Esoknya saya mampir lagi, tapi kosong
Berikutnya saya mampir lagi…kosong juga.
Penasaran kutanyakan pada ibu pedangang sebelahnya.
"Mbahe kok nggak jualan Mbak?"
Berikutnya saya mampir lagi…kosong juga.
Penasaran kutanyakan pada ibu pedangang sebelahnya.
"Mbahe kok nggak jualan Mbak?"
"Oh nggak, dia … jualan jika panen pisang aja. Sampeyan to yang kemarin ngasih amplop. Walah Mbahe nangis ngguguk (tersedu2) jare bejo, (katanya beruntung) dapet qodaran."
Barangkali yang dimaksudkan yaitu lailatul qodar. Malam yang konon lebih baik dari 1000 bulan. Para malaikat turun dari langit. Ke langit hati kita. Menyelesaikan segala urusan. Allah melapangkan rejeki dan kemuliannya bagi yang dikehendaki.
Pun mempersempit bagi yang dikehendaki pula. Rejeki sesuai kapasitas kita.
Pun mempersempit bagi yang dikehendaki pula. Rejeki sesuai kapasitas kita.
Lantas siapakah yang mendapatkannya ?
Barangkali wanita sepuh inilah yang mendapatkannya. Bukan alasannya yaitu ia mahir ibadah. Bukan pula alasannya yaitu I’tikafnya yang besar lengan berkuasa di masjid. Tapi dialah pelaksana dari yang katanya ‘hanya’ sanggup "fatihah" itu.
Kesungguhan I’tikaf yang luar biasa.
Bertindak, berlaku, dan berpasrah dalam keriangan rasa.
Bertindak, berlaku, dan berpasrah dalam keriangan rasa.
I’tikaf di masjid yang digelar dalam keluasan yang maha. Bukan masjid yang sekedar bangunan ibadah. Kecintaannya yang sederhana dengan penyiapan wedang dan penganan bagi limapuluhan bocah selama puasa, sungguh bukan perkara mudah. Hanya cinta tuluslah yang bisa.
Aku jadi teringat pertanyaan teman, perihal pencapaian Lailatul Qadar.
Benarkah memang ia turun di 10 hari terakhir malam ganjil?
Maka …malam terbaik dari 1000 bulan bukanlah instan...
Tak sanggup dijujug dengan akhiran, semua butuh proses…. alasannya yaitu karunia terindah butuh wadah yang dibangun dengan memaniskan iman, mengais kebaikan, sebelum, selama dan sehabis Ramadhan. Itulah bahwasanya "QODARAN".
Benarkah memang ia turun di 10 hari terakhir malam ganjil?
Maka …malam terbaik dari 1000 bulan bukanlah instan...
Tak sanggup dijujug dengan akhiran, semua butuh proses…. alasannya yaitu karunia terindah butuh wadah yang dibangun dengan memaniskan iman, mengais kebaikan, sebelum, selama dan sehabis Ramadhan. Itulah bahwasanya "QODARAN".
Wallahu alam...
Demikianlah Artikel Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar
Sekianlah artikel Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cara Gampang Sanggup Lailatur Qadar dengan alamat link https://lubukhatimuslim.blogspot.com/2020/12/cara-gampang-sanggup-lailatur-qadar.html